Fantastic Four Vs Mr Bush Jr
Fidel Alejandro Castro Ruz (Kuba), Dr. Mahmoud Ahmadinejad (Iran), Juah Evo Morales Ayma (Bolivia) dan Hugo Chaves (Venezuela) (Fantastic Four), adalah sekian dari pemimpin di dunia ini yang dianggap sebagai “pembangkang” di mata negara Barat dan Amerika. George W. Bush Jr putra presiden G.Bush menganggap keempat presiden tersebut sebagai “poros setan”. Lantaran negara-negara tersebut selalu menjadi penentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan sekutunya.
Namun sebaliknya, mereka menganggap dirinya sebagai “poros malaikat” dan menganggap Amerika dan Barat-lah sebagai “poros setan”. Dengan sifatnya yang heroik, revolusioner dan patriotik serta bermartabat tinggi, keempatnya selalu menentang politik dunia kapitalisme dan tidak pernah tunduk berbagai bentuk intervensi terhadap negaranya.
Dengan keberanian yang memukau, mereka menasionalisasi puluhan perusahaan asing dan dengan nekad membagi susu sekaligus beras gratis untuk penduduk miskin. Penguasa yang benar-benar mengurus rakyat dan mereka yang miskin mendapat prioritas pelayanan. Presiden yang langsung memotong gaji dirinya dan kabinetnya dan menetapkan pendidikan gratis untuk semua jenjang buat penduduknya.
Pemimpin yang selama ini sangat antusias memikirkan nasib rakyatnya. Mungkin itulah gambaran pemimpin yang dulu pernah diserukan oleh Nelson Mandela, “Pemimpin itu seperti seorang gembala. Ia berada di belakang kawanan, membiarkan yang paling lincah di depan, diikuti domba-domba yang lain, yang tidak menyadari bahwa mereka dipandu dari belakang”.
Kehadiran buku ini “Poros Setan (Kisah Empat Presiden Revolusioner: Fidel Castro – M. Ahmadinejad – Evo Morales – Hugo Chavez)” karya Robert E. Quirk dan kawan-kawan memang patut diacungi jempol. Dengan gaya bahasa yang ringan para penulis mengetengahkan berbagai sisi kehidupan keempat pemimpin radikal tersebut.
Setidaknya memberikan gambaran secara lugas potret kepemimpinan alternatif. Dimulai dari latar belakang kehidupannya, perilaku dan kepribadiannya, berbagai kebijakannya hingga berbagai aksi politiknya. Meski harus siap untuk dikucilkan, diembargo dan berbagai macam sangki yang lainnya, negara-negara tersebut tetap kukuh dan teguh mempertahankan eksistensi negaranya.
Apalagi kemunculannya sangat tepat. Di tengah-tengah arogansi dan hegemoni Amerika Serikat dan sekutunya yang terus membabi buta. Dengan menganggap dirinya sebagai polisi dunia yang merasuk ke seluruh penjuru dunia. Setelah kebijakannya atas Afganistan dan Irak, kini Somalia dan Iran yang dijadikan target kebijakannya.
Kemenangan anggota “sayap kiri” dalam merebut tahta kekuasaan di negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Brasil, Argentina, Uruguay, Chile, hingga presiden Ekuador, Rafael Correa, yang baru-baru ini terpilih. Ditambah lagi dengan adanya Iran dan Suriah di Asia menjadikan Aliansi baru Asia (Iran-Suriah)-Amerika Latin menjadikan kecenderungan dan keinginan mereka untuk membentuk blok pertahanan dan kerjasama di berbagai bidang. Sehingga terbentuk sebutan pan-Amerika Latin untuk menggalang dukungan anti-AS.
Begitulah seharusnya presiden, pemimpin yang punya dedikasi tinggi untuk kesejahteraan rakyat dan antusias dalam menolong rakyat. Hakikatnya, kesejahteraan merupakan hak asasi warga negara yang harus dipenuhi. Jika tidak, berarti pemerintah telah mengabaikan hak-hak rakyat dan melalukan pelanggaran kemanusiaan.
Penulis melirik Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang sederhana dan pemberani dengan kebijakan nuklirnya, Pemimpin Venezuela Hugo Chavez yang dengan lantang menolak perdagangan bebas Amerika, dan musuh tradisional AS, Presiden Kuba Fidel Castro. Castro Pernah menyatakan, “Aku yakin benar bahwa tatanan ekonomi sekarang ini, yang dipaksakan oleh negeri maju, tidak saja kejam, tidak adil, tidak manusiawi dan bertentangan dengan hukum keniscayaan sejarah, akan tetapi juga, secara inheren, rasis!”. Selain itu, penulis juga dicontohkan kepemimpinan Evo Morales, pemimpin Bolivia. Morales selalu mengkampanyekan bahwa musuh paling jahat umat manusia adalah kapitalisme.
Secara sekilas buku ini menjurus pada Anti-Amerika, dengan segala persoalan yang dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang diantaranya hutang yang melambung dan arus globalisasi yang menyuburkan kapitalisme.
Buku ini juga sangat menggungah para pembaca tetang kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden Revolusioner ini. Kebijakan yang sangat berani mengambil resiko hanya untuk menyelamatkan rakyatnya. Tak heran jika rakyat yang note bene “kaum tertindas” menganggap keempat pemimpin tersebut sebagai “dewa”.(Berbagai Sumber)
Jumat, 22 Agustus 2008
Renungan
"KHAYALAN dan RENUNGAN SEORANG REVOLUSIONER"
Sebuah tugas yang berat tapi suci, sekarang dipikulkan di atas bahu setiap orang Indonesia untuk memerdekakan 55 juta jiwa dari perbudakan yang beratus-ratus tahun lamanya, dan memimpin mereka ke pintu gerbang hidup baru.
Zaman yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta zaman "kesaktian" yang gelap itu, tak dapat menolong kita sedikit pun. Marilah sekarang kita bangun termbok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorongkan masyarakat yang berbahagia. Marilah kita pergunakan pikiran yang "rasional" sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada penguasaan atas sumber daya alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaian yang benar — kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju kepada kebenaran. Kita sangat menjunjung tinggi kesaktian dan adat istiadat serta kebenaran bangsa Timur. Akan tetapi semuanya itu tidaklah mendatangkan pencerahan, kemauan kepada peradaban dan kemajuan, cita-cita tentang masyarakat yang baik, tinggi, bagus, serta tidak pula mendatangkan yang baik di dalam sejarah dunia. Pujilah kepintaran Timur sang pemilik batinnya sendiri, kegaiban atau kekeramatan Timur, bilamana anda suka. Semuanya itu sebenarnya merupakan asal mula dari kesengsaraan dan penyiksaan mematikan semangat kerja dalam masyarakat yang tak layak bagi pergaulan manusia. Manusia haruslah berdaya, mencoba berjuang, kalah atau menang dalam ikhtiarnya itu. Sebab, inilah yang dinamakan hidup! Karena itu, hapuslah segala macam kepuasan yang menyuburkan semangat budak dan buanglah kesalahan kosong sebab ini adalah kesesatan pikiran semata.
Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka! Sebuah bangsa pun mesti merdeka berpikir dan berikhtiar. Jadi ia mesti berdiri atau berubah dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan dan kemauannya. Tiap-tiap manusia atau bangsa harus mempergunakan tenaganya buat memajukan kebudayaan manusia umum. Jika tidak, ia tak layak menjadi seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda sedikit jua dengan seekor binatang.
Tetapi kamu orang Indonesia yang 55,000,000 tak kan mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala "kotoran kesaktian" itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat budak belia. Tenaga ekonomi dan sosial yang ada pada waktu ini, harus kamu persatukan untuk menentang imperialisme Barat yang sedang terpecah-pecah itu, dengan senjata semangat revolusioner-proletaris, yaitu dialektis materialisme. Kamu tak boleh kalah oleh orang Barat dalam hal pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa pengorbanan. Juga kamu tidak boleh dikalahkan mereka dalam perjuangan sosial. Akuilah dengan tulus, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka mengikuti kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat.
Sebelum bangsa Indonesia mengerti dan mempergunakan segala kepandaian dan pengetahuan Barat, belumlah ia tamat dari sekolah Barat. Karena itu, janganlah menjatuhkan diri dalam kesesatan dengan mengira bahwa kebudayaan Timur yang dulu atau sekarang lebih tinggi dari kebudayaan Barat sekarang. Ini boleh kamu katakan, bilamana kamu sudah melebihi pengetahuan, kecakapan dan cara berpikir orang Barat. Sekurang-kurangnya masyarakat kamu sudah mengeluarkan orang yang lebih dari seorang dari Newton, Marx dan Lenin, barulah kamu boleh bangga. Pada waktu ini sungguh sia-sia dan tak layak bagi kamu mengeluarkan perkataan sudah "lebih pintar" dan tak perlu belajar lagi, sebab banyak sekali yang belum kamu ketahui. Pun jika perkataan itu keluar dari seorang bekas murid yang melupakan ajaran gurunya. Kamu belum boleh membanggakan kelebihanmu karena kamu belum layak jadi seorang murid, seperti terbukti dengan kekolotan dan akar-akar takhayul yang masih berbelit-belit dalam kepalamu. Bila sekalian keruwetan itu sudah lenyap dari kepalamu, barulah kamu dianggap orang sebagai murid, dan mulailah mempergunakan pikiran "baru" dengan sempurna.(dok/net)
Sebuah tugas yang berat tapi suci, sekarang dipikulkan di atas bahu setiap orang Indonesia untuk memerdekakan 55 juta jiwa dari perbudakan yang beratus-ratus tahun lamanya, dan memimpin mereka ke pintu gerbang hidup baru.
Zaman yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta zaman "kesaktian" yang gelap itu, tak dapat menolong kita sedikit pun. Marilah sekarang kita bangun termbok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorongkan masyarakat yang berbahagia. Marilah kita pergunakan pikiran yang "rasional" sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada penguasaan atas sumber daya alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaian yang benar — kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju kepada kebenaran. Kita sangat menjunjung tinggi kesaktian dan adat istiadat serta kebenaran bangsa Timur. Akan tetapi semuanya itu tidaklah mendatangkan pencerahan, kemauan kepada peradaban dan kemajuan, cita-cita tentang masyarakat yang baik, tinggi, bagus, serta tidak pula mendatangkan yang baik di dalam sejarah dunia. Pujilah kepintaran Timur sang pemilik batinnya sendiri, kegaiban atau kekeramatan Timur, bilamana anda suka. Semuanya itu sebenarnya merupakan asal mula dari kesengsaraan dan penyiksaan mematikan semangat kerja dalam masyarakat yang tak layak bagi pergaulan manusia. Manusia haruslah berdaya, mencoba berjuang, kalah atau menang dalam ikhtiarnya itu. Sebab, inilah yang dinamakan hidup! Karena itu, hapuslah segala macam kepuasan yang menyuburkan semangat budak dan buanglah kesalahan kosong sebab ini adalah kesesatan pikiran semata.
Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka! Sebuah bangsa pun mesti merdeka berpikir dan berikhtiar. Jadi ia mesti berdiri atau berubah dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan dan kemauannya. Tiap-tiap manusia atau bangsa harus mempergunakan tenaganya buat memajukan kebudayaan manusia umum. Jika tidak, ia tak layak menjadi seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda sedikit jua dengan seekor binatang.
Tetapi kamu orang Indonesia yang 55,000,000 tak kan mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala "kotoran kesaktian" itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat budak belia. Tenaga ekonomi dan sosial yang ada pada waktu ini, harus kamu persatukan untuk menentang imperialisme Barat yang sedang terpecah-pecah itu, dengan senjata semangat revolusioner-proletaris, yaitu dialektis materialisme. Kamu tak boleh kalah oleh orang Barat dalam hal pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa pengorbanan. Juga kamu tidak boleh dikalahkan mereka dalam perjuangan sosial. Akuilah dengan tulus, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka mengikuti kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat.
Sebelum bangsa Indonesia mengerti dan mempergunakan segala kepandaian dan pengetahuan Barat, belumlah ia tamat dari sekolah Barat. Karena itu, janganlah menjatuhkan diri dalam kesesatan dengan mengira bahwa kebudayaan Timur yang dulu atau sekarang lebih tinggi dari kebudayaan Barat sekarang. Ini boleh kamu katakan, bilamana kamu sudah melebihi pengetahuan, kecakapan dan cara berpikir orang Barat. Sekurang-kurangnya masyarakat kamu sudah mengeluarkan orang yang lebih dari seorang dari Newton, Marx dan Lenin, barulah kamu boleh bangga. Pada waktu ini sungguh sia-sia dan tak layak bagi kamu mengeluarkan perkataan sudah "lebih pintar" dan tak perlu belajar lagi, sebab banyak sekali yang belum kamu ketahui. Pun jika perkataan itu keluar dari seorang bekas murid yang melupakan ajaran gurunya. Kamu belum boleh membanggakan kelebihanmu karena kamu belum layak jadi seorang murid, seperti terbukti dengan kekolotan dan akar-akar takhayul yang masih berbelit-belit dalam kepalamu. Bila sekalian keruwetan itu sudah lenyap dari kepalamu, barulah kamu dianggap orang sebagai murid, dan mulailah mempergunakan pikiran "baru" dengan sempurna.(dok/net)
Renungan
Ketika Jejak Kartini mulai ditinggalkan
Masanya sudah tak mungkin lagi bisa digapai, hanya imaji dan idealismennya yang kini terus hidup mengisi setiap lerung kehidupan anak negeri.
Kartini, mungkin satu dari sekian banyak perempuan Indonesia yang punya gagasan brilian, dan mampu menterjemahkan kehidupan masa depan. Keinginannya merubah nasib kaum Hawa negeri ini hanya tinggal angan dan cita cita yang kemudian tertuang dalam gagasan sebuah perjalanan sejarah.
Realitan telah terjadi, Kartini kini hanya tinggal upacara sakral. Nilai nilai dan gagasan yang menjadi cita cita besarnya makin terkubur di dasar yang jauh orang di negeri ini tak bisa menjamahnya. Seandainya kita tahu mungkin Kartini menangis jauh disana. Kebanyakan perempuab kini di Indonesia telah buta dengan mata hati yang dipunyainya. Mungkin ia tak rela melihat kenyataan yang terjadi, betapa kaum perempuan kini telah jauh lari dari kenyataan yang sebenarnya sebagai kaum perempuan.
Seandainya mungkin bisa mewakili kartini, saya akan bicara kaum Perempuan kini telah "Buta Mata Hatinya". Hedonis, berpoya poya itulah sebagian tifikal wanita jaman sekarang yang katanya memperjuangkan emansipasi dan nilai nilai kemjuan sebagai manusia. Lalu relefankah dengan jati diri seorang manusia itu sendiri. Lagi lagi jika saya di izinkan berbicara mewakili Kartini mungkin akan berkata "Butanya mata hati" kaum wanita kini telah terjadi.
Jika kita lihat dan renungkan apa yang ada sekarang dengan keinginan Kartini, nilai relefansinya jauh panggang daripada api. Mungkin jika Kartini bisa kita saksikan akan menagis melihat kenyataan yang terjadi. Wanita Indonesia hanya bisa memakai kebaya ketika merayakan hari Kartini, namun jauh niali nilai yang ia (Kartini-red) inginkan tak pernah terjabarkan dalam kenyataanya.
Butanya Mata Hati kebanyakan perempuan kini di Indonesia, menjadi penghalang tembusnya nilai nilai kartini yang sesungguhnya.
Dulu kartini tak mengenal dunia pendidikan secara luas dan mendalam bahkan ia dibelenggu mengenal pendidikan, tapi jiwanya menghujam melanglang buana dan berkelana menyaksikan ketidak adilan kaum perempuan kebanyakan negeri ini saat itu. Namun perempuan sekarang yang katanya mengenal ilmu dan pendidikan tinggi, tapi hatinya kerdil tak tahu mengartikan kehidupan apa yang sedang ia hadapi, mereka kebanyakan hanya bisa berbicara tentang kebebasan. Padahal Kartini dulu tak pernah banyak berbicara, namun ia terus mengimplementasikan gagasan akan artinya kebebasan yang sesungguhnya dengan menganut norma ketimuran yang beradab, sopan dan penuh makna.
Butanya Mata Hati telah menjadi pengecualian, bahkan prediksi kehancuran benar benar mengelilingi kehidupan kodrat kewanitaan jaman sekarang. Lalu masihkan Butanya Mata Hati bisa teratasi, pertanyaan minimalnya cuma satu, Adakah kemauan wanita Indonesia untuk berubah.
Namun fakta membuktikan bahwa Butanya Mata Hati wanita Indonesia telah benar benar diambang batas, bahkan isyararat itu semakin nayata ketika kebanyakan wanita Indonesia mendewa dewakan hegemoni dan keberhasilan wanita barat yang berkarakter bebas. Akankah suatu saat bangsa ini maju, ataukah memang suatu saat bangsa ini ditakdirkan tuhan menjadi sejarah yang terkubur di dalam rak museum, sebab disadari wanita adalah tulang punggung negara. Mujahid Abdurrahim
Masanya sudah tak mungkin lagi bisa digapai, hanya imaji dan idealismennya yang kini terus hidup mengisi setiap lerung kehidupan anak negeri.
Kartini, mungkin satu dari sekian banyak perempuan Indonesia yang punya gagasan brilian, dan mampu menterjemahkan kehidupan masa depan. Keinginannya merubah nasib kaum Hawa negeri ini hanya tinggal angan dan cita cita yang kemudian tertuang dalam gagasan sebuah perjalanan sejarah.
Realitan telah terjadi, Kartini kini hanya tinggal upacara sakral. Nilai nilai dan gagasan yang menjadi cita cita besarnya makin terkubur di dasar yang jauh orang di negeri ini tak bisa menjamahnya. Seandainya kita tahu mungkin Kartini menangis jauh disana. Kebanyakan perempuab kini di Indonesia telah buta dengan mata hati yang dipunyainya. Mungkin ia tak rela melihat kenyataan yang terjadi, betapa kaum perempuan kini telah jauh lari dari kenyataan yang sebenarnya sebagai kaum perempuan.
Seandainya mungkin bisa mewakili kartini, saya akan bicara kaum Perempuan kini telah "Buta Mata Hatinya". Hedonis, berpoya poya itulah sebagian tifikal wanita jaman sekarang yang katanya memperjuangkan emansipasi dan nilai nilai kemjuan sebagai manusia. Lalu relefankah dengan jati diri seorang manusia itu sendiri. Lagi lagi jika saya di izinkan berbicara mewakili Kartini mungkin akan berkata "Butanya mata hati" kaum wanita kini telah terjadi.
Jika kita lihat dan renungkan apa yang ada sekarang dengan keinginan Kartini, nilai relefansinya jauh panggang daripada api. Mungkin jika Kartini bisa kita saksikan akan menagis melihat kenyataan yang terjadi. Wanita Indonesia hanya bisa memakai kebaya ketika merayakan hari Kartini, namun jauh niali nilai yang ia (Kartini-red) inginkan tak pernah terjabarkan dalam kenyataanya.
Butanya Mata Hati kebanyakan perempuan kini di Indonesia, menjadi penghalang tembusnya nilai nilai kartini yang sesungguhnya.
Dulu kartini tak mengenal dunia pendidikan secara luas dan mendalam bahkan ia dibelenggu mengenal pendidikan, tapi jiwanya menghujam melanglang buana dan berkelana menyaksikan ketidak adilan kaum perempuan kebanyakan negeri ini saat itu. Namun perempuan sekarang yang katanya mengenal ilmu dan pendidikan tinggi, tapi hatinya kerdil tak tahu mengartikan kehidupan apa yang sedang ia hadapi, mereka kebanyakan hanya bisa berbicara tentang kebebasan. Padahal Kartini dulu tak pernah banyak berbicara, namun ia terus mengimplementasikan gagasan akan artinya kebebasan yang sesungguhnya dengan menganut norma ketimuran yang beradab, sopan dan penuh makna.
Butanya Mata Hati telah menjadi pengecualian, bahkan prediksi kehancuran benar benar mengelilingi kehidupan kodrat kewanitaan jaman sekarang. Lalu masihkan Butanya Mata Hati bisa teratasi, pertanyaan minimalnya cuma satu, Adakah kemauan wanita Indonesia untuk berubah.
Namun fakta membuktikan bahwa Butanya Mata Hati wanita Indonesia telah benar benar diambang batas, bahkan isyararat itu semakin nayata ketika kebanyakan wanita Indonesia mendewa dewakan hegemoni dan keberhasilan wanita barat yang berkarakter bebas. Akankah suatu saat bangsa ini maju, ataukah memang suatu saat bangsa ini ditakdirkan tuhan menjadi sejarah yang terkubur di dalam rak museum, sebab disadari wanita adalah tulang punggung negara. Mujahid Abdurrahim
Renungan
Duh !!!, Tsunami
26 Desember 2004 Tsunami terjadi, bertahun-tahun sudah berlalu. Sisa dan porakporandanya bumi sampai sekarang masih bisa kita saksikan, bahkan sisa kemunafikanpun masih bisa kita lihat dan saksikan. Aceh dan Nias menjadi bukti dahsyatnya gelombang yang diakibatkan patahnya lempengan bumi.
Sungguh ironi, betapa tuhan telah memprasastikan Tsunami dengan hancurnya Nias dan Aceh. Namun sedikitpun manusia tak pernah menyimpan arti sebuah bencana dalam hatinya.
Tsunami hampa tanpa makna memang ada. Kebesaran tuhan lewat Tsunami telah menjadi penyepelean manusia, Tsunami dianggap sebuah bencana biasa.
Sungguh sebuah kemunduran martabat dari seorang manusia, kehebatan bencana Tsunami malah kini semakin membuat Aceh dan Nias makin porak poranda.
Kalo boleh kita melancong ke Nias sebentar, porak porandanya karena Tsunami bisa kita saksikan kehancurannya lebih parah lagi sekarang. Rakusnya manusia akan harta, jabatan, pangkat, dan kedudukan telah menjadikan ranah Nias makin jauh dari harapan untuk bangkit. Uang sumbangan dari luar negeri habis tanpa bukti, rakyat tak berdosa terus menjadi tumbal. Begitu pula di Aceh tak ubahnya seperti ranah Nias.
Tahukah bahwa tuhan masih lebih bijaksana terhadap hambanya, bahkan tahu seberapa kuat hambanya menerima cobaan. Namun seberapa besarnya kebijaksanaan tuhan manusia masih juga tetap menyalahkan, "tuhanlah pengakibat semuan bencna ini". Sungguh sebuah Nista.
Mungkin tuhan bertanya, "Lalu apa mau kalian ?", bumiku kau injak, semuanya kalian nikmati sedikitpun kalian tak ada rasa bersyukur.
Tiga atahun Tsunami telah berlalu, tak sadarnya manusia telah membuat tuhan gerah, fenomena baru yang menandakan kemurkaan tuhan terus muncul. Khusus di negeri tercinta hampir memasuki satu dasawarsa bencana masih belum berakhir, bencana keributan terus silih berganti. Tak hanya itu, tuhan kembali menggulung dan memporak porandakan Jogyakarta ribuan nyawa melayang. Sampai disitu manusia tetap tak bergeming, bahkan kemaksiatan terus meraja lela. Jogya, bengkulu, mandailing telah lewat, gempa menyusul dihampir separuh daratan di Indonesia. Gunung gunung memuntahkan isinya Semeru, Anak Krakatau, Merapi. Terakhir kalinya tuhan kembali menurunkan bencana angin serta hilangnya manunisa, tragedi tengelamnya kapal motor, hilangnya Adam Air serta yang lainnya. Jauh sebelumnnya, tanah air yang katanya penuh dengan kekaguman, kini hanya menjadi onggokan dari kemurkaan tuhan. Yang jadi pertanyaan sekarang, relepankah jika bencana ini disebut dengan siksa atau azab dari tuhan, bahkan sebelum itu banyak diantara orang fasih beragama dan mengerti agama mengenggap ini adalah sebuah ujian yang patut direnungkan karena ikta masih dikatakannya umat yang beriman. Terlepas dari itu Tsunami Aceh-Nias, Gempa Jogja, Tsunami Pangandaran serta gempa Bengkulu dan bencana serta musibah lainnya bahkan kini yang belum menemukan jalan keluar bagi masyarakat jawa Timur yang terkenal Lumpur Panas Lapindo tak kunjung usai, dan Gempa Mandailing dan bencana longsor lainnya serta banjir yang melanda diseluruh belahan bumi nusantara, adalah sebuah murka tuhan terhadap bangsa ini.
Apa mau dikata, pemimpin yang seharusnya menjadi suri dan tauladan, menjadi contoh dan pengayom, malah mempertontonkan kenistaan dan kenagkuhan seolah bumi ada pada genggamannya.
Lalu apa kelanjutannya, kini tinggal menunggu bahwasannya kebaikan akan selalu baik dan siapa yang menyelenggarakan keburukan akan selalu menerima hasil dari keburukan itu sendiri. Sebab bagi mereka rakyat kecil yang masih punya Iman dan ketaqwaan sungguh tuhan itu "Jauh tak berjalan dekat tak bersentuhan". Manusia tanpa nurani adalah sebab sebuah bencana tanpa Makna". Mujahid Abdurrahim
26 Desember 2004 Tsunami terjadi, bertahun-tahun sudah berlalu. Sisa dan porakporandanya bumi sampai sekarang masih bisa kita saksikan, bahkan sisa kemunafikanpun masih bisa kita lihat dan saksikan. Aceh dan Nias menjadi bukti dahsyatnya gelombang yang diakibatkan patahnya lempengan bumi.
Sungguh ironi, betapa tuhan telah memprasastikan Tsunami dengan hancurnya Nias dan Aceh. Namun sedikitpun manusia tak pernah menyimpan arti sebuah bencana dalam hatinya.
Tsunami hampa tanpa makna memang ada. Kebesaran tuhan lewat Tsunami telah menjadi penyepelean manusia, Tsunami dianggap sebuah bencana biasa.
Sungguh sebuah kemunduran martabat dari seorang manusia, kehebatan bencana Tsunami malah kini semakin membuat Aceh dan Nias makin porak poranda.
Kalo boleh kita melancong ke Nias sebentar, porak porandanya karena Tsunami bisa kita saksikan kehancurannya lebih parah lagi sekarang. Rakusnya manusia akan harta, jabatan, pangkat, dan kedudukan telah menjadikan ranah Nias makin jauh dari harapan untuk bangkit. Uang sumbangan dari luar negeri habis tanpa bukti, rakyat tak berdosa terus menjadi tumbal. Begitu pula di Aceh tak ubahnya seperti ranah Nias.
Tahukah bahwa tuhan masih lebih bijaksana terhadap hambanya, bahkan tahu seberapa kuat hambanya menerima cobaan. Namun seberapa besarnya kebijaksanaan tuhan manusia masih juga tetap menyalahkan, "tuhanlah pengakibat semuan bencna ini". Sungguh sebuah Nista.
Mungkin tuhan bertanya, "Lalu apa mau kalian ?", bumiku kau injak, semuanya kalian nikmati sedikitpun kalian tak ada rasa bersyukur.
Tiga atahun Tsunami telah berlalu, tak sadarnya manusia telah membuat tuhan gerah, fenomena baru yang menandakan kemurkaan tuhan terus muncul. Khusus di negeri tercinta hampir memasuki satu dasawarsa bencana masih belum berakhir, bencana keributan terus silih berganti. Tak hanya itu, tuhan kembali menggulung dan memporak porandakan Jogyakarta ribuan nyawa melayang. Sampai disitu manusia tetap tak bergeming, bahkan kemaksiatan terus meraja lela. Jogya, bengkulu, mandailing telah lewat, gempa menyusul dihampir separuh daratan di Indonesia. Gunung gunung memuntahkan isinya Semeru, Anak Krakatau, Merapi. Terakhir kalinya tuhan kembali menurunkan bencana angin serta hilangnya manunisa, tragedi tengelamnya kapal motor, hilangnya Adam Air serta yang lainnya. Jauh sebelumnnya, tanah air yang katanya penuh dengan kekaguman, kini hanya menjadi onggokan dari kemurkaan tuhan. Yang jadi pertanyaan sekarang, relepankah jika bencana ini disebut dengan siksa atau azab dari tuhan, bahkan sebelum itu banyak diantara orang fasih beragama dan mengerti agama mengenggap ini adalah sebuah ujian yang patut direnungkan karena ikta masih dikatakannya umat yang beriman. Terlepas dari itu Tsunami Aceh-Nias, Gempa Jogja, Tsunami Pangandaran serta gempa Bengkulu dan bencana serta musibah lainnya bahkan kini yang belum menemukan jalan keluar bagi masyarakat jawa Timur yang terkenal Lumpur Panas Lapindo tak kunjung usai, dan Gempa Mandailing dan bencana longsor lainnya serta banjir yang melanda diseluruh belahan bumi nusantara, adalah sebuah murka tuhan terhadap bangsa ini.
Apa mau dikata, pemimpin yang seharusnya menjadi suri dan tauladan, menjadi contoh dan pengayom, malah mempertontonkan kenistaan dan kenagkuhan seolah bumi ada pada genggamannya.
Lalu apa kelanjutannya, kini tinggal menunggu bahwasannya kebaikan akan selalu baik dan siapa yang menyelenggarakan keburukan akan selalu menerima hasil dari keburukan itu sendiri. Sebab bagi mereka rakyat kecil yang masih punya Iman dan ketaqwaan sungguh tuhan itu "Jauh tak berjalan dekat tak bersentuhan". Manusia tanpa nurani adalah sebab sebuah bencana tanpa Makna". Mujahid Abdurrahim
Langganan:
Postingan (Atom)