Jumat, 22 Agustus 2008

Renungan

Ketika Jejak Kartini mulai ditinggalkan

Masanya
sudah tak mungkin lagi bisa digapai, hanya imaji dan idealismennya yang kini terus hidup mengisi setiap lerung kehidupan anak negeri.
Kartini, mungkin satu dari sekian banyak perempuan Indonesia yang punya gagasan brilian, dan mampu menterjemahkan kehidupan masa depan. Keinginannya merubah nasib kaum Hawa negeri ini hanya tinggal angan dan cita cita yang kemudian tertuang dalam gagasan sebuah perjalanan sejarah.
Realitan telah terjadi, Kartini kini hanya tinggal upacara sakral. Nilai nilai dan gagasan yang menjadi cita cita besarnya makin terkubur di dasar yang jauh orang di negeri ini tak bisa menjamahnya. Seandainya kita tahu mungkin Kartini menangis jauh disana. Kebanyakan perempuab kini di Indonesia telah buta dengan mata hati yang dipunyainya. Mungkin ia tak rela melihat kenyataan yang terjadi, betapa kaum perempuan kini telah jauh lari dari kenyataan yang sebenarnya sebagai kaum perempuan.
Seandainya mungkin bisa mewakili kartini, saya akan bicara kaum Perempuan kini telah "Buta Mata Hatinya". Hedonis, berpoya poya itulah sebagian tifikal wanita jaman sekarang yang katanya memperjuangkan emansipasi dan nilai nilai kemjuan sebagai manusia. Lalu relefankah dengan jati diri seorang manusia itu sendiri. Lagi lagi jika saya di izinkan berbicara mewakili Kartini mungkin akan berkata "Butanya mata hati" kaum wanita kini telah terjadi.
Jika kita lihat dan renungkan apa yang ada sekarang dengan keinginan Kartini, nilai relefansinya jauh panggang daripada api. Mungkin jika Kartini bisa kita saksikan akan menagis melihat kenyataan yang terjadi. Wanita Indonesia hanya bisa memakai kebaya ketika merayakan hari Kartini, namun jauh niali nilai yang ia (Kartini-red) inginkan tak pernah terjabarkan dalam kenyataanya.
Butanya Mata Hati kebanyakan perempuan kini di Indonesia, menjadi penghalang tembusnya nilai nilai kartini yang sesungguhnya.
Dulu kartini tak mengenal dunia pendidikan secara luas dan mendalam bahkan ia dibelenggu mengenal pendidikan, tapi jiwanya menghujam melanglang buana dan berkelana menyaksikan ketidak adilan kaum perempuan kebanyakan negeri ini saat itu. Namun perempuan sekarang yang katanya mengenal ilmu dan pendidikan tinggi, tapi hatinya kerdil tak tahu mengartikan kehidupan apa yang sedang ia hadapi, mereka kebanyakan hanya bisa berbicara tentang kebebasan. Padahal Kartini dulu tak pernah banyak berbicara, namun ia terus mengimplementasikan gagasan akan artinya kebebasan yang sesungguhnya dengan menganut norma ketimuran yang beradab, sopan dan penuh makna.
Butanya Mata Hati telah menjadi pengecualian, bahkan prediksi kehancuran benar benar mengelilingi kehidupan kodrat kewanitaan jaman sekarang. Lalu masihkan Butanya Mata Hati bisa teratasi, pertanyaan minimalnya cuma satu, Adakah kemauan wanita Indonesia untuk berubah.
Namun fakta membuktikan bahwa Butanya Mata Hati wanita Indonesia telah benar benar diambang batas, bahkan isyararat itu semakin nayata ketika kebanyakan wanita Indonesia mendewa dewakan hegemoni dan keberhasilan wanita barat yang berkarakter bebas. Akankah suatu saat bangsa ini maju, ataukah memang suatu saat bangsa ini ditakdirkan tuhan menjadi sejarah yang terkubur di dalam rak museum, sebab disadari wanita adalah tulang punggung negara. Mujahid Abdurrahim

Tidak ada komentar: