Kamis, 05 Maret 2009

Dosa Jurnalistik, Aku bertobat

Saya baru sebentar mendalami Jurnalistik, mungkin baru semata kaki saya turunkan jati diri ini ke samudra jurnalistik yang begitu luas. Aku teramat jatuh cinta ke dalam profesi ini, entah kenapa.
Keluargaku mendukung, menyemangati dan mendorong dengan kesejukan cinta yang begitu dalam. Itu yang membuat aku bertahan dan tetap mencintai profesi yang baru aku geluti empat tahun lalu ini.

Tapi, semakin aku mendekat dan mendalami dunia jurnalistik, aku temukan sebuah kenyataan yang membuat pribadi ini terhentak untuk beberapa waktu. Sebelumnya, aku sempat membaca beberapa referensi buku tentang jurnalistik, seperti karangan Muhammad J Samantho, dan beberapa kumpulan hasil seminar yang abang sepupu saya berikan.
Di tengah pencarian itu, dan atas referensi buku ini aku menemukan sebuah 'air mata' yang kuberi nama 'Dosa Jurnalistik'.

"Dosa jurnalistik ku," ucap ku dalam hati kala itu.

Sampai sekarang aku masih mencari dalil tentang apa Dosa Jurnalistik itu, dan sampai saat ini aku belum menemukan.

Namun, sejak saat ini aku bertekad untuk bertobat dari Dosa Jurnalistik ku yang lama tidak aku sadari.
"Maafkan aku ya Alloh".

Ya dosa jurnalistik itu.....................!!

Rabu, 12 November 2008

Kisah

Sapaan hangat Rizal Ramli

Anda mungkin sudah tahu, siapa sosok Rizal Ramli ?. Pertanyaan ini pastilah mudah dijawabnya. Semua pasti bisa memprediksi dari jawaban yang akan keluar dari pertanyaan diatas, boleh jadi banyak orang menjawab Rizal Ramli adalah bekas mentri zamannya Gus Dur, atau bekas kabulog juga pada masa Gus Dur. Namun pasti juga banyak yang menjawab Rizal Ramli adalah seorang ekonom jebolan ITB, atau bisa jadi ada sebagian orang menjawabnya Rizal Ramli adalah aktor dibalik kerusuhan pada demonstrasi kenaikan BBM dipertengahan tahun 2008 yang dilakukan Komite Bangkit Indonesia KBI, semua jawaban pasti banyak terlontar dari berbagai sudut pandang tentang Rizal Ramli. Jawaban itu boleh-boleh saja, namun bagi saya sosok Rizal Ramli punya arti tersendiri.
Ceritanya begini, saya mengenal Rizal Ramli ketika ia menjadi Menteri Koordinator Perekonomian dan keuangan pada masa presiden Gus Dur. Disitulah sosok Rizal Ramli saya pertama kali mendengarnya sekaligus mengenalnya dengan berbagai litelatur yang saya cari disejumlah Media.
Jauh sebelumnnya saya tidak pernah memimpikan bakal bertemu dan mewawancarai sosok yang belakangan menjadi perbincangan terkait demonstrasi KBI, yang membuat sejumlah orang khawatir tragedi Mei berdarah tahun 1998 terulang kembali.
Adalah bulan November 2008, sosok tokoh yang penuh enerjik itu bisa saya kenal dan saya tahu akan kesan pertamanya, dua kali saya bertatap muka dengannya, pertama ketika mengambil gambar di Kantor DR Group, sang ekonom itu menyapa saya dengan ucapan "Bagaimana kabarnya", sambil berlalu memasuki mobil Toyota Alphard yang sudah disediakan untuknnya menuju acara Rapat kerja Daerah Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (Rakerda PPPI).
Berjam-jam waktu berlalu, sosok ekonom yang saya anggap eksentrik ini berlalu dari ingatan saya, saya pun sibuk dengan berbagai liputan di acara Rakerda itu.
Namun kejadian yang berkesan bagi saya terhadap ekonom ini adalah, ketika break makan siang, seusai wawancara degan sejumlah wartawan saya coba menghampiri sosok yang murah senyum ini. Ia kembali menyapa saya "Apa kabar, gimana", ungkapnya sembari menyodorkan tangannya untuk berjabat salam.
"Saya mau buat kenang kenangan dulu dengan pak Ramli", ungkap saya. Sosok ekonom itupun langsung tanggap dengan apa yang saya inginkan, ia merangkul bahu badan saya yang kebetulan postur saya lebih pendek dari sosok ekonom yang sejak kecil di tinggal kedua orangtuanya ini.
Beberapa jepretan foto berhasil di abadikan oleh kawan seprofesi saya di Media. Dan jadilah foto ini (Diatas-red).
Tokoh yang sejak kecil bergelut dengan kerja kerasnya ini, nampaknya sulit saya mengerti, ternyata sosok di televisi dan pada kenyataannya sangat jauh berbeda. Ternyata tokoh yang akan coba maju menjadi RI 1 ini cukup familiar dan bersahabat. Semoga saya suatu saat ketika tuhan mengizinkannya menjadi RI 1 sikap familiar itu tak lagi hilang darinya....semoga./elmujahida

Jumat, 26 September 2008

Renungan Tanpa Batas

*MAMPUKAH KITA MENCINTAI TANPA SYARAT*

> Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja
> bahkan sudah mendekati malam, Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi
> dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua.. mereka menikah
> sudah lebih 32 tahun.

> Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa, setelah
> istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisa
> digerakkan itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh
> tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah tidak
> bisa digerakkan lagi.

> Setiap hari Pak Suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan
> mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia
> letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.

> Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya
> tersenyum, untunglah tempat usaha Pak Suyatno tidak begitu jauh dari
> rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.
> sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas
> maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan
> apa2 saja yg dia alami seharian.

> Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, Pak
> Suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap
> berangkat tidur.
>
> Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia
> merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka,
> sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.
>
> Pada suatu hari ke empat anak Suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka
> sambil menjenguk Ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal
> dengan keluarga masing2 dan Pak Suyatno memutuskan Ibu mereka dia yg
> merawat, yang dia inginkan hanya satu . semua anaknya berhasil.

> Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata 'Pak kami ingin sekali
> merawat Ibu semenjak kami kecil melihat Bapak merawat Ibu tidak ada
> sedikitpun keluhan keluar dari bibir Bapak. . bahkan Bapak tidak ijinkan
> kami menjaga Ibu'. dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya
> 'sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan Bapak menikah lagi, kami rasa
> Ibupun akan mengijinkannya, kapan Bapak menikmati masa tua Bapak dengan
> berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat Bapak, kami janji kami
> akan merawat Ibu sebaik-baik secara bergantian ...'

> Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2 mereka.'Anak2ku
> .
> Jikalau perkawinan & hidup didunia ini hanya untuk nafsu, mungkin Bapak
> akan
> menikah . tapi ketahuilah dengan adanya Ibu kalian disampingku itu sudah
> lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian ... sejenak kerongkongannya
> tersekat . kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta
> yg tidak satupun dapat menghargai dengan apapun. Coba kalian tanya Ibumu
> apakah dia menginginkan keadaannya seperti ini?
>
> Kalian menginginkan Bapak bahagia, apakah batin Bapak bisa bahagia
> meninggalkan Ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan Bapak yg
> masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan Ibumu
> yg masih sakit.'

> Sejenak meledaklah tangis anak2 Pak Suyatno merekapun melihat butiran2 kecil
> jatuh dipelupuk mata Ibu Suyatno . dengan pilu ditatapnya mata suami yg
> sangat dicintainya itu.. Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah
> satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan
> pertanyaan kepada Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat
> sendiri Istrinya yg sudah tidak bisa apa2..
> disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio
> kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru disitulah Pak
> Suyatno bercerita.
>
> 'Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya,
> tetapi tidak mau memberi (memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian) adalah
> kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan
> sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya mencintai saya dengan
> hati dan batinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yg
> lucu2 ...

> Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama . dan itu
> merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk
> mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya
> apalagi dia sakit,,,'/milis

Renungan

Kaca Spion

Oleh Andi F. Noya

Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan
Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta . Tapi, suatu Hari
Ada kerinduan Dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk
Baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan.
Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga
Suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa
Lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya
Mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan
Dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi
Mengapa rasanya jauh berbeda?
Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal
Rasanya yang mengecewakan, tetapi Ada hal lain yang membuat saya gundah.

Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu
Mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya.
Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib
Yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya
Merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika
Masih Ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum
Buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang Dan hati riang.
Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak
Gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna
Hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero
Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan
Sepiring tidak akan pernah puas. Kalau Ada uang lebih, saya pasti nambah
Satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya
Bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa Dan Siapa Orang
Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia
. Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus
Meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia Dan
Metro TV.

Sampai suatu Hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di
Sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya
Menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan
Kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah Dan tidak lagi
Menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu
Hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya Mobil sendiri, Dan
Punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi
Sombong karenanya.

Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya .. Sejak
Kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas Dan
Menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya
Bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda
Milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah Mobil. Kaca spion
Mobil itu patah.

Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer
Saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah
Saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang
Sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi
Mobil, di Jalan Prapanca. Garasi Mobil itu oleh pemiliknya disulap
Menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma
Enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat
Tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di
Ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar.
Rupanya sang pemilik Mobil datang. Dengan suara keras dia marah-marah
Dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan
Mobilnya.

Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras Dan tidak
Bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca
Spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang
Senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang
Mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos
Menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua
Minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan Ada
Tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit
Itulah kami - ibu, dua kakak, Dan saya - harus bisa bertahan hidup
Sebulan.

Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap
Akhir bulan sang pemilik Mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil
Uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan
Uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak Ada habis-habisnya. Setiap akhir
Bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu
Ketakutan. Di Mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah
Artinya kaca spion Mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat
Kondisi ibu Dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?
Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah
Ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik
Mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci
orang kaya.

Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban
mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya..
Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya.
Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka
adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya
putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari. Begitu
berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang
terbalaskan.

Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya
di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal
jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak
punya hati nurani.

Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa
kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu
tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah
berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan
kepada istri. Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa
bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena
sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan.. Dulu
mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang,
apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang
enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika dia melihat
saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, "Kamu berhak untuk
itu.. Sebab kamu sudah bekerja keras."

Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama
sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang
kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya
terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak
lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado
yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi
sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.
Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak
sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca
spionnya saya tabrak.

Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam
kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika
mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang
dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak
dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin
melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya
terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan
kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi.
Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok..

Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat
itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang
merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang
ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf
atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha
meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi.
Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera
luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya.
Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah
artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.
Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan
begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu
saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang
pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup
yang pahit./milis

Rabu, 27 Agustus 2008

Sambut Rmadhan

Bilih aya tutur saur nu teu ka ukur, rek basa nu pasalia, laku lampah nu te' merenah neda di hapunten.
"Mohon Maaf Lahir dan Bathin"


Review

Menurut Wiranto yang disebut sebut sebagai tokoh terkemuka mengungkapkan, dari hasil dialognya dengan rakyat kecil di berbagai daerah, kelihatannya ada suatu kerinduan terhadap suasana yang pernah mereka rasakan di masa lalu, di mana suasana itu aman, tenteram dan membahagiakan sehingga orang tidak terancam kehidupannya. Rakyat butuh KTA. Bukan Kartu Tanda Anggota, melainkan Kenyang, Tenang dan Aman.
Suatu permintaan yang sangat sederhana yang sampai saat ini belum dapat diwujudkan. Para pemimpin politik belum dapat mewujudkan apa yang pernah dijanjikan kepada masyarakat tatkala reformasi ini mulai digulirkan. “Oleh karena itu kalau kemudian, rakyat merindukan kembali suasana masa lalu yang penuh ketenangan, ketentraman, kita tidak boleh menolaknya,” kata Mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Wiranto seperti dilansir salahsatu situs media terkemuka.
Pernyataan ini sudah berulangkali dikemukakannya, tatkala menyampaikan visi dan misinya di hadapan kader Partai Golkar juga dihadapan publik dalam berbagai kesempatan seminar maupun diskusi. Pernyataan yang sangat sederhana tetapi menyentuh substansi kebutuhan rakyat banyak.
Kondisi ini pula yang mendorongnya untuk bertekad bulat ikut mencalonkan diri menjabat Presiden yang akan dipilih secara langsung oleh rakyat pada Pemilu 2004 nanti. Ia merasa terpanggil untuk mewujudkan kebutuhan rakyat itu, yang hanya mungkin dapat dilakukannya secara optimal jika ia terpilih jadi presiden.
Setiap saat saya mengikuti perkembangan proses reformasi dengan seksama, dengan terus berharap dan berdoa semoga keadaan akan menjadi lebih baik, seperti halnya keinginan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya, yaitu adanya Indonesia Baru yang lebih demokratis, lebih aman, adil dan menyejahterakan masyarakatnya.
Namun pada kenyataannya, setelah saya melakukan perjalanan ke hampir seluruh propinsi untuk melihat, mendengarkan dan memahami secara langsung apa yang dirasakan oleh rakyat, saya mendapati adanya ekspresi dari kegundahan dan kegelisahan di tengah masyarakat. Mereka belum melihat adanya kesungguhan para pemimpin bangsa untuk memperjuangkan nasib mereka, terbukti dengan janji-janji para tokoh politik yang hingga saat ini belum juga dapat mereka rasakan.
Sebenarnya, apa yang mereka sangat rindukan adalah sesuatu yang sederhana dan tidak terlalu muluk, yaitu keadaan yang aman, tenteram, mudah mencari makan, tersedia papan dan pekerjaan.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, kita seharusnya berani mengakui bahwa bangsa ini telah kehilangan banyak waktu, pikiran dan tenaga hanya untuk bertengkar satu sama lain, mempersoalkan masa lalu dan hanya bereaksi seadanya terhadap masalah terkini. Kita menyia-nyiakan kesempatan untuk membangun sinergi, berpikir jauh ke depan, menangkap peluang guna memenangkan persaingan dengan negara lain dalam rangka memperjuangkan kepentingan bangsa.
Reformasi yang dilakukan secara tambal sulam dan tidak jelas konsepnya, ditambah dengan praktek hukum yang sangat lemah, telah membawa bangsa ini ke dalam suasana yang sangat berbahaya yakni disharmoni, disorientasi dan terbukanya jalan menuju disintegrasi bangsa./mujahid abdurrahim/berbgai sumber